Selasa, 13 Maret 2018

Sejarah Sastra dekade 50-an





SEJARAH SASTRA
“ANGKATAN 1953-1961”






Disusun oleh :
Muhamad Iqbal (170141008)
Pendidikan Bahasa Indonesia


STKIP AL- HIKMAH  SURABAYA




A.  PENDAHULUAN
1.    LATAR BELAKANG
Peradaban suatu bangsa dipengaruhi banyak hal, salah satunya oleh keberadaan budaya berupa karya sastra. Karya sastra yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Di dalam perkembangan sejarah sering digunakannya karya sastra sebagai tolak ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Bangsa yang memiliki karya sastra yang indah serta adiluhung, keberadaannya akan lebih diakui dan dikenal sebagai bangsa berkepribadian, berbudaya, dan berwibawa.
Karya sastra senantiasa berkembang sesuai dengan keadaan zaman, oleh karena itulah lahir beberapa angkatan sastrawan pada masanya. Karya sastra yang dihasilkan dapat berupa protes sosial, keadaan sosial, kritik sosial, atau sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi yang efektif. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu menangkap maksud dan makna tersirat dibalik suatu karya sastra yang telah dibuat. Sejatinya suatu karya sastra berisi harapan sastrawan yang membuatnya. Sebagai generasi yang hidup di zaman modern wajib mengetahui, mempelajari dan melestarikan karya sastra mengingat melimpahnya karya anak bangsa. Berbagai karya sastra hasil anak bangsa bisa dijadikan inspirasi dan semangat untuk memajukan bangsa. Terkhusus karya sastra puisi dan prosa.
Sastra angkatan 50 dilatarbelakangi oleh keadaan Indonesia yang pada saat itu mengalami perubahan yang cukup drastis, yakni dari transisi penjajahan berdarah menuju ke kemerdekaan cemerlang. Tentunya suasana tersebut, para sastrawan mulai memikirkan ciri khas sastra pada angkatan 50-an dan masalah kebudayaan yang sedang dialami Indonesia untuk membedakannya dari angkatan sastra sebelumnya. Para sastrawan juga mulai mencari bahan-bahan yang merujuk pada kebudayaan Indonesia yang murni dan membebaskannya dari pengaruh budaya asing setelah penjajahan.
Pada tahun 1950 juga didirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai suatu organisasi kebudayaan dalam naungan PKI. Mula-mula kegiatannya sebagai penyambung lidah partai tidak terlalu menyolok, Tetapi setelah januari 1959, yaitu waktu Kongres Nasional Lekra yang pertama: organisasi ini menjadi lebih agresif terhadap seniman yang berbeda haluan yang satu demi satu disingkirkan dari kegiatan kesastraan. Sikap ini sejalan dengan pertumbuhan pengaruh PKI dalam percaturan politik.
Walaupun dokumen mengenai Lekra boleh dikatakan hilang dari muka bumi Indonesia, ada juga penelitian dari luar negeri yang memberi suatu bayangan mengenai maksud dan tujuan Lekra. Awal permulaannya sudah jelas bahwa ideologi Marxisme merupakan landasan satu-satunya. Karena itu, individualisme, universalisme dan humanisme ditentang habis-habisan.
Penilaian para kritikus (Indonesia dan  non-Indonesia), ternyata bahwa dominasi ideologi Lekra, dengan tokohnya Pramudya, mempunyai akibat yang melumpuhkan terhadap kreativitas pengarang yang sebelumnya telah menunjukkan kemampuan yang tinggi. Tekanan Lekra terhadap kebebasan kehidupan kesusastraan setelah 1959 menjadi semakin keras, sampai akhirnya menimbulkan reaksi dalam bentuk pernyataan bersama pengarang nonlekra yang disebut Manifes Kebudayaan yang dimuat dalam surat kabar Berita Republika tangga 19 Maret 1963 dan majalah sastra jilid 3 edisi 9 dan 10.
Isinya ialah bahwa para pencetusnya mengakui Pancasila sebagai dasar filsafat kebudayaan Indonesia. Di samping itu, penandatanganan Manifes Kebudayaan menekankan penciptaan seni sebagai suatu tujuan yang mulia, tidak harus bersendikan ideologi tertentu. Dua belas penulis yang menandatangani Manifes Kebudayaan ialah Wiratmo Sukito, H. B. Jassin, Trisno Sumarjo, Zaini, Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohamad, Bur Rasuanto, Soe Hok Jin, D. S. Mulyanto, Ras Siregar, Jufri Tanisan dan A. Bastari Asnin.
Manifes kebudayaan mendapat sambutan yang sangat baik dari organisasi-organisasi kebudayaan di luar Lekra. Akan tetapi mereka bukan tandingan bagi kekuatan PKI yang saat itu terus menanjak. Pada tanggal 8 Mei 1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh presiden Soekarno. Setelah itu sampai 1965 para penandatanganan Manifes Kebudayaan tidak lagi diperkenankan aktif dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia dan dianggap sebagai subversif. Analisis yang lebih mendalam tentang peristiwa sastra-politik yang amat menarik tentang Lekra telah dibuat oleh Yahja Ismail (1972), HMJ Maier (1974) dan Foulcher (1969).
Prof. Dr. Herman J. Waluyo (2008:264) mengatakan, “Pada angkatan 50-an banyak membicarkan masalah-masalah kemasyarakatan, masalah tersebut terkadang tidak dapat dipisahkan dengan warna kedaerahan. Hal itu disebabkan persoalan yang banyak diteriakan pada periode 45 seperti, humanisme universal, kemerdekaan perdamaian dan lainnya dianggap telah tuntas. Oleh karena itulah sastrawan  periode 50-an kembali kepada diri sendiri dalam mengisi kemerdekaan.” Pada tahun 1953 boleh dikatakan timbul suatu generasi pengarang baru yang oleh Ayip Rosidi disebut “Angkatan Terbaru”.
Di dalam sebuah buku Sejarah Sastra Indonesia karya Yant Mujianto dan Amir Fuady mengatakan, “Sastra Dekade 50-an dan Angkatan 66 disebut dengan Generasi Kisah dan Manifes Kebudayaan.” Penyebutan “Generasi Kisah” bertolak dari kondisi menyuburnya penciptaan cerita pendek, dan pada waktu itu, majalah yang khusus/memberi peluang sangat luas memuat cerita pendek ialah majalah kisah di bawah pimpinan H. B. Jassin.
Berbeda dengan angkatan-angkatan sebelum dan sesudahnya yang selalu ditandai peristiwa politik atau revolusi kebudayaan, maka Generasi Kisah ini muncul dalam sejarah sastra tanpa mengibarkan bendera revolusi sastra tertentu dan lebih merupakan potret zaman dari sebuah republik yang baru, yang penuh kecamuk dan pergolakan. Situasi sosial politik yang keras ikut pula terpantul dalam beberapa karya generasi ini, seperti karya Muhammad Ali dan A. A. Navis. Nostalgia masa perang ditulis antar lain oleh: Trisno Yuwono dan Nugroho Notosusanto. Hal tersebut belum menjadi ciri angkatan baru. Dalam masa ini, kemunculan cerita pendek dan sajak terasa sangat menggembirakan, lebih banyak daripada novel dan roman.
Nama-nama baru banyak sekali dijumpai dalam masa ini. Mereka umumnya terus mencipta, melaju terus hingga 15 tahun atau lebih dari puncak kreativitas mereka di awal-awal tahun 50-an. Karena hal ini wajarlah jika nama-nama mereka bisa dijumpai dalam buku bunga rampai Angkatan ’66, Prosa dan Puisi susunan H. B. Jassin atau Laut Biru susunan Ayip Rosidi yang juga memuat para sastrawan Angkatan ’80-an itu.
Puisi sekitar tahun 50-an seringkali masih diklasifikasikan sebagai puisi angkatan 45. Namun secara umum ciri-ciri puisi tahun 45 berbeda dengan puisi angkatan 50-an. Puisi angkatan 50-an perlu diklasifikasikan sebagai golongan puisi tersendiri. Periode sastra yang subur dengan karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama terdapat pada periode 1953 sampai 1961. Banyak eksperimen baru yang diciptakan oleh sastrawan Indonesia sehingga memberikan ciri pembeda dengan angkatan 45. Dalam dunia puisi, muncul Ramadhan K.H. yang membawa pengaruh Frederico Garcia Lorca kiranya perlu ditengahkan. Dengan datangnya pengaruh lorca itu, dunia kepenyairan di Indonesia meninggalkan masa realisme dan akspresionisme angkatan 45 dan memasuki era romantik. Penyair periode 50-an menjadikan penyair romantik spanyol tersebut sebagai model atau contoh. Setelah Ramadhan K.H., Rendra merupakan tokoh yang paling banyak menampilkan warna lorca pada tulisan puisi-puisinya sekitar tahun 50-an. Kirdjo Mulyo dan Toto Sudarto Bachtiar  kiranya tidak dapat dilepaskan dari romantic lorca.
B.   KARAKTERISTIK
Ciri khas karya puisi tahun 50-an adalah: (1) bergaya epik (bercerita) yang diujudkan dengan balada atau puisi lirik; (2) gaya mantra mulai nampak dalam di balada; (3) gaya repetisi (ulangan) mulai berkembang; (4) gaya retorik juga nampak berkembang, teristimewa dalam puisi Rendra; (5) banyak digambarkan suasana muram karena hidup yang penuh derita; (6) mengungkapkan masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, dan kepincangan hidup; (7) dongeng kepercayaan banyak dijadikan dasar penciptaan balada (Prof. Dr. Herman J. Waluyo, 2008:265).
Ciri khas karya prosa tahun 50-an adalah: (1) banyak mengemukakan pertentngan politik, (2) menggambarkan kehidupan sehari-hari, (3) cerita perang mulai berkurang, (4) Kehidupan di pedesaan dan daerah mulai digarap seperti tampak dalam novel Bokor Hutasuhut : Penakluk dunia.
Berbeda halnya dengan ciri/karakteristik karya sastra yang dimiliki angkatan 45 dan pujangga baru. “Pada angkatan 45 banyak dikisahkan dan disuarakan kemerdekaan, semangat perjuangan dan patriotisme” (Prof. Dr. Herman J. Waluyo, 2008:264). Sedangkan pada angkatan pujangga baru memiliki ciri utama nasionalisme Indonesia, keidupan yang leih modern, dan kebangkitan kaum muda. Namun ada beberapa karya yang terpengaruh oleh angkatan 80 di Belanda, tak heran apabila terdapat karya sastra berbentuk sonata.
C.  TOKOH SASTRAWAN DAN HASIL KARYA
1.    Willibrordus Surendra
Penyair ini dikenal dengan nama W. S. Rendra yang dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Beliau berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah memeluk agama Islam. Pada permulaan sajak-sajaknya tampak pengaruh nyanyian dolanan kanak-kanak jawa dan para penyair Spanyol “Federico Garcia (1899-1936).” Pada tahun-tahun tersebut banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K. H. Setelah itu, sajak permulaan tersebut dimuat dalam buku kumpulan sajak yang pertama berjudul “Balada Orang-Orang Tercinta (1957).” Rendra dinobatkan sebagai salah seorang penyair terbaik dan mendapatkan hadiah sastra nasional atas puisinya tahun 1955-1956.
Sebagian besar sajak-sajaknya telah diterbitkan dalam 4 kumpulan sajak (1961), yakni terkumpul dalam Kakawin-Kawin, Malam Stanza, Nyanyian dari Jalanan, dan Sajak-Sajak Dua Belas Perak. Rendra juga bsnyak menulis sajak selama di Amerika yang menunjukan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, misalnya Nyanyian Angsa, Bluess untuk Bonnie, Khotbah, dan lain-lain. Selain menulis sajak, Rendra juga menulis cerpen yang diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul Ia Sudah Bertualang (1963).
a.    Contoh Karya Sastra Puisi : Jangan
Makna : Puisi tersebut menggambarkan permasalahan atau tema kemanusiaan. Penyair menyerukan agar lintah darat jangan dibunuh, tetapi diperlakukan yang manusiawi akan menjadi lunak hatinya. Lintah darat adalah orang-orang yang harus dimanusiakan.
b.   Contoh Karya Sastra Prosa : Ia Sudah Bertualang
Sastrawan ingin menyampaikan bahawa penjual arum manis sudah betualang dalam pikirannya mengnai masa lalunya ketika masihkecil. Hingga tokoh penjual arum manis memahami bahwa dirinya sudah mencapaikedewasaan. Hal tersebut diciptakan oleh pengarang kerena kehadiran tokoh anak kecil yang mengikutinya

2.    Ramadhan K. H.
Sastrawan yang memiliki nama lengkap Ramadhan Kartahadimadja. Lahir di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya baru tampil sebagai penulis sekitar tahun 1952. Ia memulai berkarya dengan menulis cerpen, baru kemudian menulis sajak. Ia juga seorang penerjemah yang berhasil memperkenalkan drama-drama dan sajak-sajak Federico Garcia Lorca ke dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Seluruh karya penting Lorca telah Ia terjemahkan. Hanya drama Yerman yang telah terbit (1959). Sedangkan yang lainnya hanya diumumkan dalam majalah, seperti drama Rumah Bernada Alba (di dalam majalah Indonesia dan buku-buku penting sajak Lorca seperti Cancioes dan Romancero Gitano). Sepulang dari Spanyo barulah Ia menulis sajak dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Atas buku tersebut ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi. Tahun 1968, Romannya yang berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO.
a.    Contoh Karya Sastra Puisi : Tanah Kelahiran 1
Makna : Tanah kelahiran yang damai, Di tengah hutan, Tanah Burangrang-Tangkubanprahu yang begitu indah, memancing tiap manusia untuk memandang, Meskipun tanah kelahiran terpencil di ujung, Tetapi namanya terus mengalir ke tempat lain, Daerahnya mendominasi berbagai daerah lain, Bahkan namanya terkenal oleh daerah-daerah yang jauh dan adidaya, Asal-usul tentang keindahan Burangrang-Tangkubanprahu sudah diketahui dunia, Sehingga untuk datang ke Indonesia, merupakan sebuah kehormatan, Burangrang-Tangkubanprahu, yang meskipun berada di ujung dunia, memiliki begitu banyak pelosok, gunung, dan pedalaman, tapi mampu memikat hati jutaan manusia di jagat raya.
b.    Contoh Karya Sastra Prosa : Keluarga Permana
Bercerita tentang KDRT yang dilakukan oleh Permana kepada isteri dan anaknya yaitu Ida dan Saleha. Penyebab KDRT yang dilakukan Permana tersebut tidak lain karena dia merasa malu setelah dirinya diberhentikan dari kerjaannya, sehingga isterinya lah yang bekerja keras untuk menafkahi keluarganya.
Selain itu, novel ini menceritakan tentang pencampuran dua agama yaitu agama islam dan khatolik yang dilakukan oleh Ida dan Sumarto, karena mereka berdua melakukan suatu hubungan sebelum mereka menikah, hingga Ida pun hamil. Permana dan Isterinya terpaksa menggugurkan kandungan Ida, karena tidak mau menanggung malu dari orang lain, hingga Ida pun jatuh sakit setelah proses pengguguran tersebut. Karena keterpaksaan juga Ida pun menikah dengan Sumarto dan otomatis si Ida dalam proses pernikahan tersebut dibaptis masuk agama Khatolik, walaupun ia merasa tidak nyaman.
Satu minggu kemudian Ida pun pergi ke rumah Sumarto suaimya, yang ada di Jatiwangi. Setelah tiba di Jatiwangi Ida pun jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit, hingga ia menghembuskan napas terakhirnya, karena kepalanya terbentur dan berdarah ketika hendak mau mengambil air.

3.    Kirdjo Mulyo
Dilahirkan di Yogyakarta, 1930, meninggal disana pada tanggal 19 Januari 2000. Ia terkenal dengan Romance Perjalanan (1955) nya. Ia juga menulis lakon Nona Maryam (1955), Penggali Kapur (1957), Puisi Rumah Bambu, Dusta yang Manis, Puisi di Langit Merah, serta novel Cahaya di Mata Emi (1968) dan Di Saat Rambutnya Terurai(1968) serta Dari Lembah Pualam.

4.    Toto Sudarto Bachtiar 
Dilahirkan di Paliman, Cirebon, 12 Oktober 1929. Penyair ini menulis dua buah buku kumpulan sajak Suara (1956) dan Etsa (1958). Di dalam kedua buku tersebut dapat dijumpai sajak Pahlawan Tak Dikenal, Ibu kota Senja (1951), Gadis Peminta-minta, Tentang Kemerdekaan, dan lain-lain. Ia juga menerjemahkan novel karya Leo Tolstoy berjudul Hati yang Bahagia, drama Sanyasi (karya Tagore, 1979), Pelacur (karya J. P. Sartre, 1954), Sulaiman yang Agung (karya Harold Lamb, 1958), Malam Terakhir (karya Yushio Misima, 1979), novel Bayangan Memudar (karya Breton de Nijs, 1975), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest Hemingway, 1974).
a.    Contoh Karya Sastra Puisi : Ibu Kota Senja
Makna : Sajak tentang kehidupan rakyat kecil di sebuah kota yang sibuk. Ada banyak “aktor” yang hadir sebagai paradoks sebuah kota besar dalam sajak itu: kuli-kuli, perempuan miskin yang mandi di sungai, oto dan angkutan umum yang sibuk dengan klakson, juga gedung-gedung tinggi yang hendak menggapai langit.
Sajaknya Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jawa.

D.  SPIRIT YANG DAPAT DIAMBIL
1.    Semangat dalam mengembangkan dunia sastra Indonesia.
2.    Perjuangan menegakan keadilan melalui berbagai karya sastra.
3.    Semangat dalam menciptakan karya sastra sesuai dengan jati diri dan identitas bangsa.


















DAFTAR PUSTAKA
Mujianto, Yant dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta: LPP
        dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.
Jassin, H. B. 2013. Angkatan 66 Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara untuk Menghafal Al quran yang Baik

Cara untuk Menghafal Al quran yang Baik Sebagian besar Pondok Pesantren atau Boarding School di Indonesia menetapkan kebijakan untuk pa...