SEJARAH SASTRA
“ANGKATAN 1953-1961”
Disusun
oleh :
Muhamad
Iqbal (170141008)
Pendidikan
Bahasa Indonesia
STKIP AL- HIKMAH SURABAYA
A.
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Peradaban suatu bangsa dipengaruhi banyak hal, salah satunya oleh
keberadaan budaya berupa karya sastra. Karya sastra yang terus tumbuh seiring
berjalannya waktu. Di dalam perkembangan sejarah sering digunakannya karya
sastra sebagai tolak ukur kemajuan peradaban suatu bangsa. Bangsa yang memiliki
karya sastra yang indah serta adiluhung, keberadaannya akan lebih diakui dan
dikenal sebagai bangsa berkepribadian, berbudaya, dan berwibawa.
Karya sastra senantiasa berkembang sesuai dengan keadaan zaman,
oleh karena itulah lahir beberapa angkatan sastrawan pada masanya. Karya sastra
yang dihasilkan dapat berupa protes sosial, keadaan sosial, kritik sosial, atau
sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi yang efektif. Hal tersebut bertujuan
agar masyarakat mampu menangkap maksud dan makna tersirat dibalik suatu karya
sastra yang telah dibuat. Sejatinya suatu karya sastra berisi harapan sastrawan
yang membuatnya. Sebagai generasi yang hidup di zaman modern wajib mengetahui,
mempelajari dan melestarikan karya sastra mengingat melimpahnya karya anak
bangsa. Berbagai karya sastra hasil anak bangsa bisa dijadikan inspirasi dan
semangat untuk memajukan bangsa. Terkhusus karya sastra puisi dan prosa.
Sastra
angkatan 50 dilatarbelakangi oleh keadaan Indonesia yang pada saat itu
mengalami perubahan yang cukup drastis, yakni dari transisi penjajahan berdarah
menuju ke kemerdekaan cemerlang. Tentunya suasana tersebut, para sastrawan
mulai memikirkan ciri khas sastra pada angkatan 50-an dan masalah kebudayaan
yang sedang dialami Indonesia untuk membedakannya dari angkatan sastra
sebelumnya. Para sastrawan juga mulai mencari bahan-bahan yang merujuk pada
kebudayaan Indonesia yang murni dan membebaskannya dari pengaruh budaya asing
setelah penjajahan.
Pada tahun 1950 juga didirikan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
sebagai suatu organisasi kebudayaan dalam naungan PKI. Mula-mula kegiatannya
sebagai penyambung lidah partai tidak terlalu menyolok, Tetapi setelah januari
1959, yaitu waktu Kongres Nasional Lekra yang pertama: organisasi ini menjadi
lebih agresif terhadap seniman yang berbeda haluan yang satu demi satu
disingkirkan dari kegiatan kesastraan. Sikap ini sejalan dengan pertumbuhan
pengaruh PKI dalam percaturan politik.
Walaupun dokumen mengenai Lekra boleh dikatakan hilang dari muka
bumi Indonesia, ada juga penelitian dari luar negeri yang memberi suatu
bayangan mengenai maksud dan tujuan Lekra. Awal permulaannya sudah jelas bahwa
ideologi Marxisme merupakan landasan satu-satunya. Karena itu, individualisme,
universalisme dan humanisme ditentang habis-habisan.
Penilaian para kritikus (Indonesia dan non-Indonesia), ternyata bahwa dominasi
ideologi Lekra, dengan tokohnya Pramudya, mempunyai akibat yang melumpuhkan
terhadap kreativitas pengarang yang sebelumnya telah menunjukkan kemampuan yang
tinggi. Tekanan Lekra terhadap kebebasan kehidupan kesusastraan setelah 1959
menjadi semakin keras, sampai akhirnya menimbulkan reaksi dalam bentuk
pernyataan bersama pengarang nonlekra yang disebut Manifes Kebudayaan yang
dimuat dalam surat kabar Berita Republika tangga 19 Maret 1963 dan
majalah sastra jilid 3 edisi 9 dan 10.
Isinya ialah bahwa para pencetusnya mengakui Pancasila sebagai
dasar filsafat kebudayaan Indonesia. Di samping itu, penandatanganan Manifes
Kebudayaan menekankan penciptaan seni sebagai suatu tujuan yang mulia, tidak
harus bersendikan ideologi tertentu. Dua belas penulis yang menandatangani
Manifes Kebudayaan ialah Wiratmo Sukito, H. B. Jassin, Trisno Sumarjo, Zaini,
Bokor Hutasuhut, Gunawan Mohamad, Bur Rasuanto, Soe Hok Jin, D. S. Mulyanto,
Ras Siregar, Jufri Tanisan dan A. Bastari Asnin.
Manifes kebudayaan mendapat sambutan yang sangat baik dari
organisasi-organisasi kebudayaan di luar Lekra. Akan tetapi mereka bukan
tandingan bagi kekuatan PKI yang saat itu terus menanjak. Pada tanggal 8 Mei
1964 Manifes Kebudayaan dilarang oleh presiden Soekarno. Setelah itu sampai
1965 para penandatanganan Manifes Kebudayaan tidak lagi diperkenankan aktif dalam
kehidupan kebudayaan di Indonesia dan dianggap sebagai subversif. Analisis yang
lebih mendalam tentang peristiwa sastra-politik yang amat menarik tentang Lekra
telah dibuat oleh Yahja Ismail (1972), HMJ Maier (1974) dan Foulcher (1969).
Prof. Dr. Herman J. Waluyo (2008:264) mengatakan, “Pada angkatan
50-an banyak membicarkan masalah-masalah kemasyarakatan, masalah tersebut
terkadang tidak dapat dipisahkan dengan warna kedaerahan. Hal itu disebabkan
persoalan yang banyak diteriakan pada periode 45 seperti, humanisme universal,
kemerdekaan perdamaian dan lainnya dianggap telah tuntas. Oleh karena itulah
sastrawan periode 50-an kembali kepada
diri sendiri dalam mengisi kemerdekaan.” Pada tahun 1953 boleh dikatakan timbul
suatu generasi pengarang baru yang oleh Ayip Rosidi disebut “Angkatan Terbaru”.
Di dalam sebuah buku Sejarah Sastra Indonesia karya Yant
Mujianto dan Amir Fuady mengatakan, “Sastra Dekade 50-an dan Angkatan 66 disebut
dengan Generasi Kisah dan Manifes Kebudayaan.” Penyebutan “Generasi Kisah”
bertolak dari kondisi menyuburnya penciptaan cerita pendek, dan pada waktu itu,
majalah yang khusus/memberi peluang sangat luas memuat cerita pendek ialah
majalah kisah di bawah pimpinan H. B. Jassin.
Berbeda dengan angkatan-angkatan sebelum dan sesudahnya yang selalu
ditandai peristiwa politik atau revolusi kebudayaan, maka Generasi Kisah ini
muncul dalam sejarah sastra tanpa mengibarkan bendera revolusi sastra tertentu
dan lebih merupakan potret zaman dari sebuah republik yang baru, yang penuh
kecamuk dan pergolakan. Situasi sosial politik yang keras ikut pula terpantul
dalam beberapa karya generasi ini, seperti karya Muhammad Ali dan A. A. Navis.
Nostalgia masa perang ditulis antar lain oleh: Trisno Yuwono dan Nugroho
Notosusanto. Hal tersebut belum menjadi ciri angkatan baru. Dalam masa ini,
kemunculan cerita pendek dan sajak terasa sangat menggembirakan, lebih banyak
daripada novel dan roman.
Nama-nama baru banyak sekali dijumpai dalam masa ini. Mereka
umumnya terus mencipta, melaju terus hingga 15 tahun atau lebih dari puncak
kreativitas mereka di awal-awal tahun 50-an. Karena hal ini wajarlah jika
nama-nama mereka bisa dijumpai dalam buku bunga rampai Angkatan ’66, Prosa dan
Puisi susunan H. B. Jassin atau Laut Biru susunan Ayip Rosidi yang
juga memuat para sastrawan Angkatan ’80-an itu.
Puisi sekitar tahun 50-an seringkali masih diklasifikasikan sebagai
puisi angkatan 45. Namun secara umum ciri-ciri puisi tahun 45 berbeda dengan
puisi angkatan 50-an. Puisi angkatan 50-an perlu diklasifikasikan sebagai
golongan puisi tersendiri. Periode sastra yang subur dengan karya sastra, baik
puisi, prosa, maupun drama terdapat pada periode 1953 sampai 1961. Banyak
eksperimen baru yang diciptakan oleh sastrawan Indonesia sehingga memberikan
ciri pembeda dengan angkatan 45. Dalam dunia puisi, muncul Ramadhan K.H. yang
membawa pengaruh Frederico Garcia Lorca kiranya perlu ditengahkan. Dengan
datangnya pengaruh lorca itu, dunia kepenyairan di Indonesia meninggalkan masa
realisme dan akspresionisme angkatan 45 dan memasuki era romantik. Penyair
periode 50-an menjadikan penyair romantik spanyol tersebut sebagai model atau
contoh. Setelah Ramadhan K.H., Rendra merupakan tokoh yang paling banyak menampilkan
warna lorca pada tulisan puisi-puisinya sekitar tahun 50-an. Kirdjo Mulyo dan
Toto Sudarto Bachtiar kiranya tidak
dapat dilepaskan dari romantic lorca.
B.
KARAKTERISTIK
Ciri khas karya puisi tahun 50-an adalah: (1) bergaya epik
(bercerita) yang diujudkan dengan balada atau puisi lirik; (2) gaya mantra
mulai nampak dalam di balada; (3) gaya repetisi (ulangan) mulai berkembang; (4)
gaya retorik juga nampak berkembang, teristimewa dalam puisi Rendra; (5) banyak
digambarkan suasana muram karena hidup yang penuh derita; (6) mengungkapkan
masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, dan kepincangan hidup; (7) dongeng
kepercayaan banyak dijadikan dasar penciptaan balada (Prof. Dr. Herman J.
Waluyo, 2008:265).
Ciri khas karya prosa tahun 50-an adalah: (1) banyak mengemukakan
pertentngan politik, (2) menggambarkan kehidupan sehari-hari, (3) cerita perang
mulai berkurang, (4) Kehidupan di pedesaan dan daerah mulai digarap seperti
tampak dalam novel Bokor Hutasuhut : Penakluk dunia.
Berbeda halnya dengan ciri/karakteristik karya sastra yang dimiliki
angkatan 45 dan pujangga baru. “Pada angkatan 45 banyak dikisahkan dan
disuarakan kemerdekaan, semangat perjuangan dan patriotisme” (Prof. Dr. Herman
J. Waluyo, 2008:264). Sedangkan pada angkatan pujangga baru memiliki ciri utama
nasionalisme Indonesia, keidupan yang leih modern, dan kebangkitan kaum muda.
Namun ada beberapa karya yang terpengaruh oleh angkatan 80 di Belanda, tak
heran apabila terdapat karya sastra berbentuk sonata.
C.
TOKOH SASTRAWAN DAN HASIL KARYA
1.
Willibrordus Surendra
Penyair
ini dikenal dengan nama W. S. Rendra yang dilahirkan di Solo, 7 November 1935.
Beliau berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah memeluk agama Islam.
Pada permulaan sajak-sajaknya tampak pengaruh nyanyian dolanan kanak-kanak jawa
dan para penyair Spanyol “Federico Garcia (1899-1936).” Pada tahun-tahun
tersebut banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K. H. Setelah itu,
sajak permulaan tersebut dimuat dalam buku kumpulan sajak yang pertama berjudul
“Balada Orang-Orang Tercinta (1957).” Rendra dinobatkan sebagai salah
seorang penyair terbaik dan mendapatkan hadiah sastra nasional atas puisinya
tahun 1955-1956.
Sebagian besar sajak-sajaknya telah
diterbitkan dalam 4 kumpulan sajak (1961), yakni terkumpul dalam Kakawin-Kawin,
Malam Stanza, Nyanyian dari Jalanan, dan Sajak-Sajak Dua Belas Perak.
Rendra juga bsnyak menulis sajak selama di Amerika yang menunjukan kematangan
dan kesederhanaan pengucapannya, misalnya Nyanyian Angsa, Bluess untuk
Bonnie, Khotbah, dan lain-lain. Selain
menulis sajak, Rendra juga menulis cerpen yang diterbitkan dalam sebuah
kumpulan berjudul Ia Sudah Bertualang (1963).
a.
Contoh Karya Sastra Puisi : Jangan
Makna : Puisi tersebut menggambarkan
permasalahan atau tema kemanusiaan. Penyair menyerukan agar lintah darat jangan
dibunuh, tetapi diperlakukan yang manusiawi akan menjadi lunak hatinya. Lintah
darat adalah orang-orang yang harus dimanusiakan.
b.
Contoh Karya
Sastra Prosa : Ia Sudah Bertualang
Sastrawan ingin
menyampaikan bahawa penjual arum manis sudah betualang dalam
pikirannya mengnai masa lalunya ketika masihkecil.
Hingga tokoh penjual arum manis memahami bahwa dirinya sudah mencapaikedewasaan.
Hal tersebut diciptakan oleh pengarang kerena kehadiran tokoh anak kecil yang mengikutinya
2.
Ramadhan K.
H.
Sastrawan yang memiliki nama lengkap
Ramadhan Kartahadimadja. Lahir di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya baru tampil
sebagai penulis sekitar tahun 1952. Ia memulai berkarya dengan menulis cerpen,
baru kemudian menulis sajak. Ia juga seorang penerjemah yang berhasil
memperkenalkan drama-drama dan sajak-sajak Federico Garcia Lorca ke dalam
bahasa Indonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Seluruh karya penting Lorca telah Ia terjemahkan.
Hanya drama Yerman yang telah terbit (1959). Sedangkan yang lainnya hanya diumumkan
dalam majalah, seperti drama Rumah Bernada Alba (di dalam majalah
Indonesia dan buku-buku penting sajak Lorca seperti Cancioes dan Romancero
Gitano). Sepulang dari Spanyo barulah Ia menulis sajak dan dibukukan dengan judul
Priangan Si Jelita (1958). Atas buku tersebut ia mendapat hadiah sastra
nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi. Tahun 1968, Romannya yang berjudul
Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO.
a.
Contoh Karya
Sastra Puisi : Tanah Kelahiran 1
Makna : Tanah kelahiran yang damai, Di tengah hutan, Tanah
Burangrang-Tangkubanprahu yang begitu indah, memancing tiap manusia untuk
memandang, Meskipun tanah kelahiran terpencil di ujung, Tetapi namanya terus
mengalir ke tempat lain, Daerahnya mendominasi berbagai daerah lain, Bahkan
namanya terkenal oleh daerah-daerah yang jauh dan adidaya, Asal-usul tentang
keindahan Burangrang-Tangkubanprahu sudah diketahui dunia, Sehingga untuk
datang ke Indonesia, merupakan sebuah kehormatan, Burangrang-Tangkubanprahu,
yang meskipun berada di ujung dunia, memiliki begitu banyak pelosok, gunung,
dan pedalaman, tapi mampu memikat hati jutaan manusia di jagat raya.
b.
Contoh Karya
Sastra Prosa : Keluarga Permana
Bercerita tentang KDRT yang
dilakukan oleh Permana kepada isteri dan anaknya yaitu Ida dan Saleha. Penyebab
KDRT yang dilakukan Permana tersebut tidak lain karena dia merasa malu setelah
dirinya diberhentikan dari kerjaannya, sehingga isterinya lah yang bekerja
keras untuk menafkahi keluarganya.
Selain itu, novel ini menceritakan
tentang pencampuran dua agama yaitu agama islam dan khatolik yang dilakukan
oleh Ida dan Sumarto, karena mereka berdua melakukan suatu hubungan sebelum
mereka menikah, hingga Ida pun hamil. Permana dan Isterinya terpaksa
menggugurkan kandungan Ida, karena tidak mau menanggung malu dari orang lain,
hingga Ida pun jatuh sakit setelah proses pengguguran tersebut. Karena
keterpaksaan juga Ida pun menikah dengan Sumarto dan otomatis si Ida dalam
proses pernikahan tersebut dibaptis masuk agama Khatolik, walaupun ia merasa
tidak nyaman.
Satu minggu kemudian Ida pun pergi
ke rumah Sumarto suaimya, yang ada di Jatiwangi. Setelah tiba di Jatiwangi Ida
pun jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit, hingga ia menghembuskan napas
terakhirnya, karena kepalanya terbentur dan berdarah ketika hendak mau
mengambil air.
3.
Kirdjo Mulyo
Dilahirkan di
Yogyakarta, 1930, meninggal disana pada tanggal 19 Januari 2000. Ia terkenal
dengan Romance Perjalanan (1955) nya. Ia juga menulis lakon Nona
Maryam (1955), Penggali Kapur (1957), Puisi Rumah Bambu, Dusta
yang Manis, Puisi di Langit Merah, serta novel Cahaya di Mata Emi (1968)
dan Di Saat Rambutnya Terurai(1968) serta Dari Lembah Pualam.
4.
Toto Sudarto Bachtiar
Dilahirkan di Paliman, Cirebon, 12 Oktober 1929.
Penyair ini menulis dua buah buku kumpulan sajak Suara (1956) dan Etsa
(1958). Di dalam kedua buku tersebut dapat dijumpai sajak Pahlawan Tak
Dikenal, Ibu kota Senja (1951), Gadis Peminta-minta, Tentang
Kemerdekaan, dan lain-lain. Ia juga menerjemahkan novel karya Leo Tolstoy
berjudul Hati yang Bahagia, drama Sanyasi (karya Tagore, 1979), Pelacur
(karya J. P. Sartre, 1954), Sulaiman yang Agung (karya Harold Lamb, 1958),
Malam Terakhir (karya Yushio Misima, 1979), novel Bayangan Memudar (karya
Breton de Nijs, 1975), Pertempuran Penghabisan (karya Ernest Hemingway, 1974).
a.
Contoh Karya
Sastra Puisi : Ibu Kota Senja
Makna : Sajak tentang kehidupan rakyat kecil di sebuah
kota yang sibuk. Ada banyak “aktor” yang hadir sebagai paradoks sebuah kota
besar dalam sajak itu: kuli-kuli, perempuan miskin yang mandi di sungai, oto
dan angkutan umum yang sibuk dengan klakson, juga gedung-gedung tinggi yang
hendak menggapai langit.
Sajaknya Ibu Kota Senja, menggambarkan situasi batiniah
perjuangan menaklukkan Kota Jakarta. Ia menggambarkan Jakarta tanpa kompleks
sebagai pendatang. Hingga kini, menurut pengamat sastra Agus R Sardjono, belum
ada lagi sajak semesra dan seindah itu mengenai Jakarta. Hampir tidak bisa
dibayangkan bahwa penulisnya adalah orang Jawa Barat dan menghabiskan sebagian
besar hidupnya di Jawa.
D.
SPIRIT YANG DAPAT DIAMBIL
1. Semangat dalam mengembangkan dunia sastra Indonesia.
2. Perjuangan menegakan keadilan melalui berbagai karya sastra.
3. Semangat dalam menciptakan karya sastra sesuai dengan jati diri dan
identitas bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Mujianto, Yant dan Amir Fuady. 2007.
Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta: LPP
dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS.
Jassin, H. B. 2013. Angkatan 66
Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar